Fenomena Silent Quitting dalam Dunia Perkuliahan
Garda Media – Fenomena silent quitting dalam dunia perkuliahan menggambarkan mahasiswa yang hadir di kelas hanya untuk memenuhi syarat akademik. Di mana mahasiswa tidak aktif berpartisipasi dalam diskusi, tugas, atau kegiatan kampus lainnya. Padahal, seharusnya mahasiswa terlibat aktif dalam proses akademik, bekerja sama dalam kelompok, serta mengembangkan kompetensi diri. Namun, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa banyak mahasiswa yang bersikap pasif selama perkuliahan.
Istilah silent quitting pertama kali dikenal dalam dunia kerja untuk menggambarkan karyawan yang hanya bekerja sesuai dengan yang diminta tanpa antusiasme lebih. Fenomena ini kini juga muncul dalam dunia pendidikan, menggambarkan mahasiswa yang hadir di perkuliahan tetapi pasif dalam menjalankan tanggung jawab akademisnya. Mahasiswa seperti ini mungkin hanya hadir sebagai formalitas semata.
“Baca Juga: Diskon Tiket Kereta Api Mudik Lebaran 2025, Ini Ketentuannya”
Fenomena silent quitting tidak hanya disebabkan oleh rasa malas, tetapi lebih dipengaruhi oleh berbagai faktor yang lebih kompleks. Di Indonesia, banyak mahasiswa yang kuliah hanya untuk mendapatkan gelar, bukan untuk menambah ilmu. Hal ini terlihat dari peningkatan tingkat pengangguran di kalangan lulusan sarjana. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 5,18%, meningkat dari 4,8% pada 2022. Fenomena ini menandakan bahwa banyak lulusan sarjana yang kurang siap menghadapi dunia kerja karena kurangnya kompetensi diri.
Salah satu penyebab utama fenomena ini adalah ketidaksesuaian antara jurusan yang diambil dengan minat dan bakat mahasiswa. Berdasarkan penelitian Indonesia Career Center Network (ICCN) 2021, 87% mahasiswa merasa salah memilih jurusan, yang berdampak pada rendahnya motivasi mereka untuk aktif dalam perkuliahan.
Selain ketidaksesuaian jurusan, ada beberapa faktor lain yang turut mempengaruhi silent quitting:
Tugas yang menumpuk, ujian yang sulit, serta ekspektasi tinggi dari dosen dan orang tua dapat membuat mahasiswa merasa tertekan. Akibatnya, mereka cenderung hadir di kelas tanpa benar-benar fokus pada materi.
Perkembangan teknologi dan media sosial juga menjadi gangguan besar dalam perkuliahan. Banyak mahasiswa yang lebih tertarik pada gadget ketimbang mengikuti materi kuliah, yang mengurangi partisipasi aktif.
Interaksi yang minim antara mahasiswa dan dosen, baik dalam bentuk bimbingan akademik atau diskusi di kelas, membuat mahasiswa merasa tidak mendapatkan dukungan yang cukup. Hal ini menyebabkan mereka semakin apatis.
Dampak dari fenomena ini cukup serius. Mahasiswa yang tidak aktif akan kesulitan mengembangkan keterampilan berpikir kritis, komunikasi, dan kerja sama tim. Selain itu, kualitas lulusan yang kurang kompetitif di dunia kerja menjadi masalah besar. Di sisi lain, kualitas pembelajaran di kelas juga menurun karena mahasiswa yang pasif mengurangi dinamika diskusi yang seharusnya memperkaya proses belajar.
Solusi untuk mengatasi silent quitting adalah dengan meningkatkan kesadaran mahasiswa akan pentingnya peran aktif mereka dalam perkuliahan. Mahasiswa perlu menetapkan tujuan akademik dan karier yang jelas serta terlibat dalam kegiatan perkuliahan. Bergabung dengan organisasi kampus yang sesuai dengan minat juga bisa menjadi langkah yang efektif untuk meningkatkan partisipasi. Selain itu, dukungan dari pihak kampus dan dosen untuk menciptakan lingkungan belajar yang terbuka dan responsif sangat penting dalam mengatasi fenomena ini.
“Simak Juga: Mendeteksi Skoliosis, Kenali Ciri dan Lakukan Pemeriksaan Dini”