Gelombang PHK Media, Jurnalisme Menuju Titik Nadir
Garda Media – Gelombang PHK media mengguncang industri penyiaran dan jurnalistik Indonesia sejak Mei 2025, menandai tekanan besar di sektor ini. Pemutusan hubungan kerja massal melanda berbagai perusahaan media besar: Kompas TV merumahkan 150 karyawan, CNN Indonesia mencatat angka lebih tinggi dengan 200 pekerja terdampak, dan TV One mengurangi 75 tenaga kerja. Emtek juga memberhentikan sekitar 100 pegawai, sementara VIVA.co.id bahkan berencana menutup kantornya di Pulogadung bulan depan.
Gelombang PHK media juga tercermin dalam reorganisasi besar yang dilakukan grup MNC, yang memangkas posisi pemimpin redaksi dari 10 menjadi hanya 3. Di sektor penyiaran publik, RRI dan TVRI turut mengambil langkah serupa dengan memutus kontrak pekerja outsourcing dan non-PNS sebagai bagian dari efisiensi anggaran. Media cetak pun tak luput dari dampaknya, Republika merumahkan 60 karyawan, termasuk 29 wartawan.
“Simak Juga: FIFA Menjatuhkan Dua Sanksi ke Indonesia, Ini Tanggapan PSSI”
Salah satu faktor utama di balik krisis ini adalah merosotnya pendapatan iklan, terutama dari pemerintah. Selama ini, iklan layanan publik menjadi penopang utama banyak media. Namun, pemangkasan anggaran belanja iklan dari instansi pemerintah membuat pemasukan media menurun tajam. Kondisi ini memperparah tekanan finansial yang sudah ada akibat perubahan perilaku konsumen.
Penurunan minat masyarakat terhadap televisi konvensional memperburuk keadaan. Survei Snapcart menunjukkan bahwa sebagian besar responden sudah tidak menonton TV lokal secara rutin. Bahkan ada yang tidak menonton selama lebih dari lima tahun. Tren ini diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat penurunan penonton TV sebesar 3,25% antara 2018 dan 2021.
Kini, masyarakat lebih memilih platform digital seperti YouTube, TikTok, dan layanan streaming yang menawarkan konten sesuai preferensi dan bisa diakses kapan saja.
Menurut Dewan Pers, sekitar 1.200 karyawan media, termasuk jurnalis, mengalami PHK sepanjang 2023 hingga 2024. Ketika jurnalis berpengalaman kehilangan pekerjaan, muncul kekhawatiran tentang turunnya kualitas berita dan independensi redaksi. Apalagi di tengah meningkatnya pengaruh pemilik modal.
Laporan Reporters Without Borders (RSF) mencatat penurunan signifikan dalam indeks kebebasan pers Indonesia pada 2025, memperkuat sinyal krisis yang tak bisa diabaikan.
Kondisi ini membutuhkan respons sistemis. Pemerintah perlu merancang kebijakan yang mendukung keberlanjutan media tanpa mencampuri kebebasan redaksi. Di sisi lain, media harus segera berinvestasi dalam transformasi digital, baik dari sisi teknologi, model bisnis, maupun pengembangan kapasitas jurnalis.
Tanpa jurnalisme yang sehat, demokrasi kehilangan fondasinya. Gelombang PHK ini bukan hanya soal bisnis, ini alarm keras bagi masa depan informasi publik yang bebas dan terpercaya.
“Baca Juga: Bakar Kalori Tanpa Olahraga? Ini 5 Aktivitas Rumah yang Efektif”