Teror terhadap Jurnalis: Ancaman Nyata bagi Kebebasan Pers
Garda Media – Kebebasan pers kembali mendapat ancaman setelah kantor Tempo menerima paket anonim pada Rabu (19/3/2025) pukul 16.15 WIB. Paket yang tampak seperti kiriman biasa itu ternyata berisi kepala babi yang telah dipotong dan masih terbungkus plastik. Paket tersebut baru dibuka pada Kamis (20/3/2025) oleh jurnalis Francisca Christy Rosana dan rekannya, Hussein Abri Yusuf Muda Dongoran. Yang lebih mengerikan, kepala babi tersebut telah dipotong bagian telinganya.
Teror tidak berhenti di situ. Pada Sabtu (22/3/2025), kantor Tempo kembali menerima paket berisi enam bangkai tikus yang telah dipenggal kepalanya, dibungkus dengan kertas kado bermotif bunga mawar. Paket tersebut ditemukan oleh Agus, seorang petugas kebersihan, pada pukul 08.00 WIB. Berdasarkan rekaman CCTV, paket itu diduga dilempar oleh orang tak dikenal pada pukul 02.11 WIB dari luar gedung kompleks kantor Tempo di Jakarta Selatan.
“Baca Juga: Tradisi Mengenakan Baju Baru Saat Hari Raya Idul Fitri”
Serangan terhadap jurnalis bukanlah hal baru. Laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 61 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2024. Dewan Pers juga mencatat bahwa hanya dalam enam bulan pertama tahun 2024, terdapat 28 kasus kekerasan terhadap wartawan, termasuk ancaman fisik, pelarangan liputan, serangan digital, dan intimidasi langsung.
Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 yang disusun oleh Yayasan Tifa menunjukkan bahwa ancaman terhadap pers telah menjadi budaya di masa transisi pemerintahan. Dari 760 jurnalis yang disurvei, 25% mengalami intimidasi, 23% mendapat ancaman langsung, 26% mengalami pelarangan pemberitaan, dan 44% mengalami pembatasan liputan.
Data ini membuktikan bahwa ancaman terhadap kebebasan pers bukan sekadar insiden sporadis, tetapi bagian dari pola sistematis pembungkaman. Indeks Kebebasan Pers Dunia 2024 menempatkan Indonesia di peringkat 111 dari 180 negara, turun tiga peringkat dari tahun sebelumnya, jauh di bawah Malaysia (73) dan Timor Leste (10).
Fenomena pembungkaman pers juga terlihat dalam berbagai kasus kriminalisasi jurnalis. Sepanjang 2023-2024, setidaknya ada 12 jurnalis yang dijerat UU ITE setelah menerbitkan berita investigatif tentang pejabat negara. Padahal, Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 jelas menyatakan bahwa kemerdekaan pers adalah wujud kedaulatan rakyat dan harus dilindungi.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai bahwa pemerintah dan aparat keamanan lamban dalam menangani kekerasan terhadap pers. AJI juga menyoroti bahwa negara justru menjadi aktor utama dalam membungkam pers melalui berbagai regulasi represif. Hal ini seperti UU ITE, yang sering digunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis.
Kasus teror terhadap jurnalis harus menjadi alarm darurat bagi seluruh elemen masyarakat. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus mulai bertindak tegas terhadap para pelaku intimidasi. Tanpa perlindungan nyata bagi jurnalis, kebebasan pers hanya akan menjadi ilusi, dan yang tersisa hanyalah propaganda tanpa kritik.
Dewan Pers dan organisasi jurnalis harus lebih aktif menekan pemerintah untuk menjamin perlindungan terhadap jurnalis. Regulasi yang ada harus ditegakkan secara efektif, dan pelaku kekerasan harus dihukum tanpa kompromi. Selain itu, diperlukan reformasi hukum yang melindungi jurnalis dari kriminalisasi serta mekanisme yang memastikan adanya transparansi dalam penanganan kasus kekerasan terhadap pers.
“Simak Juga: Bahaya Radiasi Ponsel, Benarkah Bisa Memicu Kanker?”