Kemandirian Energi di Tengah Dominasi Bahan Bakar Fosil
Garda Media – Kemandirian energi menjadi fokus utama pidato Presiden Prabowo Subianto dalam acara halal bihalal purnawirawan TNI-Polri pada 6 Mei 2025. Di hadapan para penjaga kedaulatan bangsa, Prabowo dengan tegas menyatakan, “Indonesia tidak boleh lagi bergantung pada impor BBM. Kita harus mandiri, kita bisa.” Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan penegasan ambisi besar: dalam lima tahun ke depan, Indonesia harus menghentikan impor bahan bakar minyak secara total.
Kemandirian energi bukanlah wacana baru. Dari era Soekarno hingga Jokowi, cita-cita ini telah berulang kali digaungkan. Namun, realisasinya selalu tersandung berbagai tantangan. Kini, Prabowo menempatkan biodiesel berbasis kelapa sawit sebagai fondasi utama transisi energi. Program pencampuran 50% biodiesel (B50) dijadwalkan dimulai awal 2025.
“Simak Juga: Bandung Biru! Konvoi Persib Bandung Disambut Lautan Bobotoh”
Langkah ini tak lepas dari kritik. GAPKI dan APROBI meragukan kesiapan infrastruktur dan kualitas produk biodiesel saat ini. Sementara dari sisi lingkungan, organisasi seperti Greenpeace memperingatkan bahaya ekspansi sawit terhadap hutan Indonesia. Deforestasi masif dan hilangnya biodiversitas menjadi risiko serius jika konversi lahan terus dilakukan demi memenuhi kebutuhan biodiesel.
Fabby Tumiwa dari IESR menyatakan bahwa Indonesia tengah berada di “persimpangan jalan transisi energi.” Tantangan utamanya mencakup ketidakkonsistenan kebijakan, dominasi energi fosil dalam bauran nasional, serta masih kuatnya ketergantungan fiskal terhadap pendapatan migas. Hingga 2023, energi terbarukan baru menyumbang 13,1% dari konsumsi nasional, jauh dari target 23% di 2025.
Ironisnya, subsidi besar masih digelontorkan ke energi fosil: Rp186,9 triliun pada RAPBN 2024, di mana Rp113,3 triliun untuk BBM dan LPG. Ini menciptakan distorsi harga dan memperlemah daya saing energi bersih.
Pemerintah menargetkan 51,6% pembangkit baru berasal dari EBT dalam RUPTL 2021–2030. Namun, banyak proyek terhambat di tahap perizinan. Sementara pembangunan PLTU eksisting terus berjalan, membuat target net zero emission 2060 kian sulit dicapai.
IESR merekomendasikan reformasi fiskal, penyederhanaan izin, dan penjaminan tarif investasi EBT. Lebih jauh, transisi energi harus inklusif, melibatkan komunitas lokal, bukan hanya korporasi besar.
Kemandirian energi tak bisa bertumpu pada sawit semata. Indonesia punya potensi besar dari panas bumi, surya, angin, dan mikrohidro. Tapi tanpa keberpihakan kebijakan dan dukungan fiskal, potensi itu tinggal wacana. Saat mimpi dideklarasikan dari panggung kekuasaan, tantangan di lapangan menanti solusi nyata.
“Baca Juga: Studi, Kurang Tidur 3 Hari Berturut-turut Berisiko bagi Jantung”